Menjemput Waras, Mengembalikan Martabat

Di banyak tempat, penyakit jiwa masih dipandang dengan stigma. Banyak dari kita masih melihat mereka dengan tatapan takut, aneh, atau bahkan menjauh. Padahal mereka adalah manusia yang sama seperti kita—yang ingin didengar, diterima, dan dihargai. Di tengah ketidakpahaman itu, berdirilah sosok-sosok yang memilih untuk melihat dengan hati: para petugas kesehatan jiwa. Dan di Puskesmas Tampapadang, salah satu sosok itu bernama Ibu Sri Musdikawati.
Setiap harinya, Ibu Sri menapaki jalan yang tidak semua orang berani lalui. Ia mendatangi rumah-rumah warga, menjalin komunikasi dengan keluarga, dan berkoordinasi dengan pemerintah setempat untuk memastikan tidak ada lagi pasien jiwa yang dipasung. Baginya, setiap pelepasan pasung bukan sekadar prosedur medis, tetapi pemulihan martabat bagi seorang manusia yang selama ini dikurung oleh ketakutan, ketidaktahuan, dan stigma sosial.

“Hari ini proses pelepasan pasien jiwa yang dipasung adalah langkah awal menuju kesembuhan,” tutur Ibu Sri setiap kali melihat pasiennya mendapatkan kembali hak untuk bergerak bebas. Ia tahu, penyembuhan jiwa tidak cukup dengan obat dari dokter. “Dokter kasih obat, tapi tidak boleh kemana-mana,” katanya, menjelaskan bagaimana dukungan keluarga dan masyarakat menjadi pondasi penting bagi keberhasilan terapi.

Baca Juga : para-penjemput-asa-pejuang-tuberculosis/

Salah satu kisah yang paling membekas adalah tentang Ny. B, seorang pasien yang sebelumnya mengalami gangguan jiwa berat hingga harus dipasung demi mencegah ia melukai diri sendiri. Setelah berhasil dilepaskan, Ny. B dibawa ke Puskesmas Tampapadang untuk mendapat perawatan intensif. Perlahan tetapi pasti, melalui pendampingan, terapi, dan ketekunan Ibu Sri serta tim kesehatan jiwa, kondisi Ny. B membaik. Ia mulai mampu berkomunikasi, memahami emosinya, dan kembali melakukan aktivitas produktif.
Kini, Ny. B bukan hanya pulih—ia kembali menjadi dirinya sendiri.

Untuk memastikan kondisinya stabil, Ibu Sri terus melakukan kunjungan rumah. Ia tidak sekadar datang membawa obat, tetapi juga datang sebagai sahabat, penguat, sekaligus tempat bercerita. Ketika Ny. B mampu mengekspresikan perasaannya, Ibu Sri memberinya penghargaan kecil. “Ini tanda bahwa Anda sudah hebat bertahan sejauh ini,” ujarnya setiap kali memberikan apresiasi. Ia tahu, penyembuhan bukan hanya soal medis, tetapi juga soal menguatkan harga diri pasien.

Yang membuat kisah ini lebih indah adalah bagaimana seorang pasien Jiwa lainnya yang sudah sembuh mampu menjadi motivator bagi orang lain. Dari seseorang yang dahulu menarik diri dan tidak mampu berkomunikasi, ia kini berkata:

“Alhamdulillah setelah berobat di Puskesmas Tampapadang ini, semakin enak kurasa. Petugasnya baik. Kalau ada teman-teman yang mau berobat, jangan takut. Pelayanannya baik.”

Ia bahkan menyarankan tetangganya yang mengalami kondisi serupa untuk tidak putus obat. Kata-katanya sederhana tetapi penuh makna, lahir dari pengalaman nyata dan proses penyembuhan yang panjang.

“Ada tetanggaku juga yang sakit jiwa. Sejak ambil rujukan dan obat di poli jiwa, baik-baikmi. Saya bilang jangan lagi putus obatnya karena nanti kembali lagi penyakitnya.”

Inilah bukti bahwa pemulihan jiwa tidak berhenti pada satu individu saja; ia menyebar, memberi semangat, dan mengubah pola pikir masyarakat sedikit demi sedikit.

Melalui Program Kesehatan Jiwa Puskesmas Tampapadang—yang terintegrasi dalam MTc Sahabat MARASA (Mandiri, Sehat, Cerdas)—perhatian kepada pasien jiwa menjadi semakin terstruktur, manusiawi, dan berkelanjutan. Metode Sahabat memastikan bahwa setiap pasien diperlakukan bukan sebagai penderita, tetapi sebagai manusia yang sedang mencari kembali keseimbangannya.

Ibu Sri Musdikawati adalah salah satu motor penggerak itu. Dengan kesabaran, empati, dan keteguhan hati, ia membuktikan bahwa penyembuhan jiwa bukan hanya tanggung jawab tenaga kesehatan, tetapi tanggung jawab kemanusiaan.
Dan melalui kerja-kerja senyapnya, masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Tampapadang kini semakin memahami:

Tidak ada jiwa yang pantas dipasung. Tidak ada manusia yang harus kehilangan martabatnya. Bersama, kita bisa mewujudkan masyarakat yang sehat jiwa, produktif, dan berdaya.

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *